Sample Text

Kamis, 26 Januari 2012

kurang berilmu

Memang benar juga kata pepatah, “Jaga kata-katamu !“. Yah betul, kata. Jadi nggak perlu sampai mengatakan, kalimat. Memakai kata-kata saja rasanya sudah berdampak besar. Kalau tidak percaya, coba saja (anggap kamunya masih muda, belum menikah dan sedang mencari pacar). Lalu didepan seseorang yang lagi kamu demenin, kamu mendengar langsung dari orang tersebut sebagai berikut : “Nggak, kamu jelek !”.

Pasti deh rasanya tidak terlupakan . Jadi dengan begitu kamu bisa merasakan juga, ada kemungkinan apa yang kamu ucapkan sesuatu saat nanti juga dapat membuat kesan seumur hidup bagi seseorang. Hati-hatilah dengan kata-kata yang disampaikan, karena dibalik itu semua, tersembunyi segunung besar makna di belakangnya.

Itu tadi hanya contoh lesan, apalagi jika kata-kata tersebut dituliskan. Maklum, suatu tulisan khan bisa mempunyai usia yang relatif panjang dibanding kata-kata yang terucap (lesan). Bahkan ada yang mengatakan, jika ditulis dan disimpan dengan baik, maka kata-kata yang merupakan segunung besar makna tersebut dapat menjadi abadi.


Dalam minggu-minggu terakhir, banyak peristiwa yang aku lewati. Ada yang membanggakan untuk diceritakan, tapi banyak juga yang membuat prihatin.

Jadi kalau begitu, yang ingin bapak tulis, yang membuat bangga atau yang membuat prihatin ?

Itulah. Dari segi ego pribadi ada keinginan menuliskan peristiwa yang membanggakan tersebut, tetapi jika demikian kesannya koq narsis atau sombong atau semacamnya. Jadi yang membuat aku prihatin saja yang ingin aku angkat pada tulisan ini. Siapa tahu ini menjadi suatu wawasan baru bagi pembaca, sehingga dapat terjadi urun rembug untuk menyelesaikan masalah yang aku prihatinkan tersebut.

Apa yang aku tulis ini juga dimulai dari suatu kata-kata yang membuatku tergerak. Kata-kata yang dimaksud, bukan seperti kata di atas tentunya, yang memang signifikan bagi anak-anak muda. Kata-kata seperti di atas, jika diucapkan bagiku, pasti nggak akan ngaruh. Bahkan sekarang, dengan rambut yang bertambah tipispun, kata-kata tadi tidak akan membuatku minder, situasinya bahkan masih lebih pede dibanding jika mendengarnya dua puluh tahun yang lalu, yaitu ketika rambut masih berjambul kayak Tintin. :)

Maklum, aku bukan seorang artis, jadi dinilainya bukan semata-mata dari fisiknya. Jalan hidup yang aku tempuh, yaitu menjadi guru, memungkinkan suatu saat nanti, meskipun sudah renta, dengan kata dan pilihan yang kuambil masih memungkinkan untuk mendapat hormat dari orang lain. Aku yakin itu. So, kata yang kumaksud, adalah kata “kurang berilmu“.

Maklum, aku khan dosen. Jadi coba saja pergunakan kata tersebut pada seseorang yang berprofesi dosen : “bapak kurang berilmu ya !” Apalagi di depan umum, wah pasti deh. Ramai !

Tapi untungnya saja, kata-kata yang aku dengar itu bukan ditujukan kepadaku. Tahu sendiri, pasti akan aku siapkan argumentasi panjang untuk mematahkannya. Bisa-bisa kelihatan, siapa yang kurang berilmu. :)

Lho kalau begitu bapak berilmu ya ?

Inipun rasanya juga tidak gampang menjawabnya. Sebagaimana kata kurang berilmu atau tidak berilmu. Pernyataan seperti itu sebenarnya susah mendeskripsikan secara jelas. Itu sangat subyektif, hanya kulminasi dari bentuk ketidak-percayaan kepada seseorang. Bayangkan saja, apakah kalau sudah mempunyai gelar sarjana, lalu dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan sudah berilmu. Juga tentu sebaliknya, apakah jika tidak punya gelar sarjana, lalu tidak berilmu. Itu sangat tergantung konteks. Jadi hati-hatilah memakai kata tersebut.

Kasus pertama datang dari salah satu mahasiswa. Nggak tahu kenapa, mungkin karena yang bersangkutan tidak diluluskan, atau apa. Mahasiswa tersebut mengatakan, bahwa dosen yang mengajarnya tidak bermutu: “Pak, dosen yang mengajar mata kuliah ini kurang berilmu lho pak, kuno !“.

Sebagai seorang dosen juga, tentu aku tidak terpancing untuk langsung mempercayainya. Maklum, sebagai sesama dosenpun tidak gampang untuk menilai kompetensi dosen yang lain. Apalagi jika ilmunya tidak sebidang. Kalau sebidang, mungkin dari diskusi ilmiah atau membaca tulisannya, bisa dengan mudah mengenalinya. Memang sih, kalau dosen tersebut hanya mengajar saja, nggak pernah membuka diskusi ilmiah atau menulis. Tentu akan susah.

Jadi kalau pak Wir ini, yang suka membuka diskusi ilmiah dan menuliskannya di blog ini, maka orang-orang lain dengan ilmu yang sama dapat dengan mudah menilai kadar ilmunya ya ?

Memang dik, mempunyai blog yang mengungkapkan artikel dengan latar belakang pekerjaan atau bidang ilmu yang digelutinya memang beresiko tinggi.

Tulisan adalah bentuk representatif pikiran atau wawasan seseorang. Jadi adanya bukti tertulis seperti itu, maka orang lain dengan ilmu yang sama akan dengan mudah mengetahui : seberapa dalam ilmu penulisnya.

Padahal tahu sendiri khan, mana ada institusi pendidikan mau menggaji orang dengan ilmu yang segitu-segitu. Kalau bisa cepat-cepatlah mempensiunkannya. Cari dosen lain dengan gelar sama, atau lebih tinggi, yang dapat mengangkat nama institusi yang dimaksud. Ingat, reputasi bagi suatu institusi pendidikan khan sangat penting. Sekali jatuh reputasinya, seperti misalnya mahasiswanya banyak yang jadi joki, tapi suka nyontek. Biasanya akan diragukan kualitasnya.

Itulah salah satu alasan, mengapa tidak banyak dosen atau guru yang mau menulis. Bisa “kelihatan” dia. :)

Tetapi sebagai seorang guru, yang merasa bahwa jalan kehidupannya adalah bukan karena usahanya sendiri. Maklum, waktu lulus S1 merasa sudah jadi insinyur perencana gedung-gedung tinggipun rasanya sudah puas, bahkan tidak membayangkan pula dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan tertinggi di universitas. Maka adalah suatu kewajaran jika merasa bahwa kehidupan guru yang dijalaninya saat ini adalah suatu tugas, bukan sekedar untuk mencari sesuap nasi. Merasakan semua yang sedang dijalaninya itu adalah tidak sendirian saja, ada suatu backup yang bernuansa ilahi yang selalu menyertai dan melindungi.

Dengan perasaan seperti itu, maka rasanya bukanlah suatu beban untuk menjadi ”terlihat” oleh banyak orang. Itulah mengapa aku tetap santai untuk menuliskan isi pikiranku ke masyarakat (publik).

Bahkan dengan menulis ini, aku merasa itu dapat sebagai alat untuk mendapatkan dukungan dari komunitas. Ilmuku jadi terus berkembang, tidak terbatas pada mata kuliah yang aku ambil dulu saat kuliah. Prakteknya, aku memposisikan diri bukan sebagai guru disegala bidang, yang menguasai segala-galanya. Super. Aku hanya merasa menguasai salah satu bidang ilmu saja, yang memang aku terus tekuni selama bertahun-tahun, yaitu ilmu yang terkait struktur. Jadi dapat dimaklumi jika ada yang bertanya bukan bidang tersebut, maka aku tentu tidak menjawabnya.

Apa nggak malu dianggap nggak bisa pak. Kurang berilmu ! Bapak khan sudah bergelar doktor ?

He, he, nggak dik. Yang namanya doktor-pun juga terbatas. Bidang yang digelutipun juga terbatas. Kata kuncinya adalah fokus. Gitu dik. Profesor juga begitu lho.

Eh, nglantur dik. Mari kita kembali ke pokok masalah, yaitu tentang dosen lain yang dianggap tidak berilmu oleh muridnya. Jadi aku balik bertanya kepada mahasiswa tersebut, apa argumentasi yang mendasarinya sehingga dia dapat mengatakan tidak berilmu. Seperti biasa dalam proses penelitian, maka langkah pertama adalah mendeskripsikan masalah.

Ternyata, mahasiswa yang bersangkutan telah siap dengan argumentasi mengenai dosen yang kurang berilmu tersebut. Kira-kira ini daftar alasan yang mereka siapkan :


  • Interaksi dosen-mahasiswa yang kurang pada saat pembelajaran di kelas : mahasiswa merasa, dosennya hanya menulis dan menulis di white-board. Nggak memperhatikan mahasiswa-mahasiswa di kelas. Nulis saja katanya, jadi nggak tahu kalau mahasiswanya banyak yang membuka laptop, facebook-an.

  • Materi out-of-dated: mahasiswa merasa ilmu yang dosen sampaikan kepada mereka sudah usang. Dibilangnya, materinya dari tahun ke tahun adalah sama.

  • Sampai titik koma diperhatikan : mereka mengatakan kalau ujian, jawabannya harus plek, sama persis dengan tulisan dosennya. Bahkan sampai titik koma. Jadi dibilangnya dosennya tidak kreatif.

  • Kalau ujian nggak ngawas dengan benar : dibilangnya jika jaga ujian, dosennya hanya duduk membaca koran. Jadi nggak ngawas dengan benar.

  • Telah menjadi masalah laten : informasi telah ada dari tahun ke tahun, disampaikan oleh kakak-kakak kelas dan di amin-khan oleh adik-adik kelasnya. Jadi minta diganti, bahkan kelihatannya himpunan mahasiswanya mendukung.

Hebat juga ya, ternyata mahasiswaku tadi telah mengidentifikasi masalah-masalah dengan dosen yang dimaksud.

Jadi bagaimapa pak Wir, dosennya diganti ya ?

He, he, he, jika aku menjadi sama menanggapinya seperti mahasiswaku tersebut, maka itu artinya aku masih perlu dididik, dan belum bisa mendidik. :)

Baik, saya mencoba menanggapinya satu-persatu.

Interaksi dosen-mahasiswa, seperti yang disampaikan di atas rasanya bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Bagaimanapun juga, itu merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dipilih oleh dosen. Argementasinya bisa juga, jika omong, maka materinya tidak akan selesai, jadi menulislah, yang mana harapannya mahasiswa juga turut menulis. Ingat menulis adalah salah satu teknik pembelajaran yang hebat. Dengan cara seperti itulah aku belajar, jadi dapat dimaklumi jika tulisanku juga banyak, tetapi tidak di papan tulis. Maklum tulisanku di papan tulis, jelek. :)

Memang sih, itu menjadi kasus per kasus tinjauannya. Tentang hal itu, aku jadi ingat perkataan prof Harianto berkaitan dengan cara mengajar prof Soemono di ITB. Katanya juga seperti itu. Bukan suatu masalah itu. Kalau aku sendiri, mencoba berhadapan langsung dengan mahasiswa. Mencoba melihat, bagaimana interaksi yang terjadi, jadi dapat dimaklumi jika ternyata melihat aku mencoba menjelaskan sesuatu, yang memang ketahuan tidak memerlukan komputer. Maka ketika lihat ada mahasiswa di belakang membaca komputernya, maka aku menegornya. Kalau nggak mau, saya persilahkan mereka keluar kelas. Biasanya prosesnya aku sampaikan tanpa emosi.

Materi out-of-dated, ini juga suatu komentar yang kebangetan. Hebat juga mahasiswa yang bersangkutan dapat memberi komentar seperti itu. Ingat, ini khan materi civil engineering, yang materinya sendiri tidak banyak diungkap di media massa. Kalaupun ada di internet, belum tentu sama tujuannya jika dipakai untuk pembelajaran. Materi lama yang diajarkan dosen tidak mesti harus dikatakan out-of-dated . Aku sendiri kalau mengajar analisa struktur dan semacamnya, khususnya cara klasik, masih memakai materi yang ditulis di awal abad 19. Bayangkan itu. Apa itu kemudian dapat dianggap out-0f-dated.

Ingat, tujuan belajar di perguruan tinggi adalah mendapatkan basic knowledge yang kuat, jadi belum tentu materi tersebut sekarang digunakan dalam praktek, misalnya saja apakah cara Metode Cross masih dipakai di konsultan. Tidak bukan. Tapi mengapa itu masih perlu dipelajari di tingkat perguruan tinggi. Itu perlu, karena materi tersebut cukup sederhana untuk dicerna oleh pikiran. Coba kalau semua pakai yang berbasis komputer. Saking kompleksnya dan banyaknya materi tersebut, maka pengetahuan yang didapat hanya cukup untuk bisa jadi operator komputer saja lho, jika itu diajarkan sebagai materi pengajaran di level perguruan tinggi. :)

Sampai titik koma diperhatikan. He, he, ini juga alasan yang mengada-ada. Tempo hari, kajur berupaya melirik tentang hal itu. Jawaban soal ujian diminta, dan dibandingkan satu persatu. Kayaknya, nggak terbukti itu. Mahasiswa yang menulis, plek, seperti yang ditulis dosen, nilainya biasa-biasa, sedangkan yang berbeda, bisa juga mendapat nilai yang lebih baik. Ini kayaknya, kabar yang selalu dihembuskan oleh anak-anak yang kecewa nggak dapat nilai baik.

Nggak ngawas dengan benar. Ini yang selalu dijadikan alasan mengapa banyak murid mencotek. Kalau hal ini jelas aku pada posisi yang mendukung dosen, dan menyalahkan mahasiswa-mahasiswa yang mencotek tersebut. Gimana tidak, mereka khan mahasiswa, tetapi cara berpikir mereka khan masih seperti anak-anak. Jadi kalau tidak diawasi lalu berbuat curang. Gitu ya.

Terus terang, aku pada prinsipnya juga seperti itu. Pertama-tama aku selalu berpikir positip, bahwa mahasiswa yang berada didepanku adalah jujur, bisa diberi kepercayaan, sampai aku menemukan bukti bahwa yang bersangkutan tidak seperti itu. Jika itu yang terjadi, gampang. Aku coret mahasiswa tersebut di memoriku, kalau ada yang bisa dikasih nilai, aku kasih dia nilai nol. Sampai pada suatu kondisi, bahwa yang bersangkutan menyesali tindakannya. Jika tidak, ya sudah. Nggak ada nama mahasiswa tersebut di ingatanku. Tentang hal itu, sekali lagi, emosi tidak akan aku gunakan. Rugi emosi masuk. Selama dia tidak bisa diberi kepercayaan, bukan siapa-siapa dia. Ekstrim memang. Tapi yah gimana lagi, dalam perjalanan waktu memang terbukti, bahwa tidak semua orang sepakat dengan prinsip-prinsip yang aku gunakan. Ya sudah, itu hak masing-masing. Nggak saling mengganggu lha. Nah sikap seperti itulah, yang aku gunakan juga untuk menghadapi mahasiswa-mahasiswa yang tidak memberi apresiasi positip terhadap tata nilai yang aku gunakan.

Konsep kepercayaan penuh ini pula yang menyebabkan kemarin, ketika ada kasus curang yang dilakukan mahasiswa-mahasiswaku, maka aku salah satu yang mendukung penuh dilakukan skorsing tersebut. Bahkan ketika ada pernyataan yang mengatas-namakan mahasiswa-mahasiswa di jurusan tersebut, maka aku mengatakan kepada para pimpinan bahwa cara-cara dukungan berkelompok agar skorsing tidak terjadi adalah sesuatu yang tidak benar dari kaca mata intelektual. Bayangkan saja, aku mencoba membantu atau tepatnya memberi contoh agar bisa hidup mandiri, khususnya di bidang ilmu yang aku ajarkan. Eh, ternyata mereka beraninya berkelompok. Itu khan nggak beda dengan para buruh, yang tempo hari menutup jalan tol agar aspirasinya di dengar. Itu akan menuju pada usaha-usaha yang mengarah pada kekerasan fisik. Jadi jika hal itu dipenuhi, maka jelas itu suatu kemunduran bagi jurusan tersebut. Ini suatu hal yang serius jika kehidupan intelektual perlu dikembangkan di Jurusan kita.

Jadi intinya, tidak ada alasan apapun yang memungkinkan melegalkan suatu pelanggaran etika dan moral.

Telah menjadi masalah laten. Jika hal-hal di atas telah terjadi sebelumnya. Padahal masalah itu bukan suatu masalah yang dapat digunakan untuk memberi sanksi bagi dosen tersebut. Lalu gimana. Iya khan.

Kalau pihak jurusan lalu menerima usulan di atas, ini tentu akan berbahaya bagi kelangsungan kemandirian pendidikan. Maklum, jurusan hanya berisi dosen-dosen “yang diterima” mahasiswa saja.

Lho khan memang begitu pak. Mahasiswa itu khan client suatu perguruan tinggi. Sumber duit. Jika tidak seperti itu, maka nanti nggak ada yang masuk lho pak. Kalau nggak ada duit, bapak dibayar dari mana.

Itu memang kita sadari dik. Tetapi seperti pepatah jawa, ngono yo ngono, tetapi ojo ngono. Kalau itu saja yang dikedepankan, maka bisa-bisa akan terjadi jualan ijazah. Menjalankan suatu perguruan tinggi, memang dibutuhkan ketrampilan bisnis, tetapi ada rambu-rambu yang berbeda dengan bisnis biasa. Etika dan moral adalah salah satu yang harus dijunjung tinggi dan utama, jika tidak, maka perguruan tinggi itu akan hancur. Jadi sanksi skorsing yang diberikan itu juga dalam rangka pendidikan, sehingga nantinya ketika mahasiswa tersebut sudah kembali ke masyarakat, mereka akan selalu ingat bahwa melanggar suatu etika adalah sesuatu yang berbahaya. Jadi itu semua juga demi kebaikan kita semua, mahasiswanya juga dan yang lainnya.

Wah membahas satu kasus saja, lama banget ya. Padahal ada kasus lain yang menyangkut kurang berilmu yang perlu diungkapkan.

Kasus kedua, sekarang datang dari antar dosennya sendiri. Jadi begini, ada satu dosen yang bergerilya kasak-kusuk bikin pernyataan atau semacamnya, yang intinya dianya meragukan mata kuliah tertentu yang diberikan oleh dosen lainnya. Intinya, materi yang diberikan tersebut tidak memadai sehingga dianya sendiri mau membantu jurusan untuk memberikan ilmu khusus berkaitan dengan materi tersebut. Kasarnya adalah dosen A menyebut dosen B kurang berilmu, sehingga dianya menawarkan diri untuk memberi kuliah tambahan untuk mengisi materi yang kurang dari dosen B tersebut.

Seru nggak ini.

Aku bilang kasak-kusuk, karena kelihatannya dianya berani ke orang-orang yang tidak memahami materi tersebut.

Lha dosennya itu sendiri apa memang berilmu pak.

Ha, ha aku juga tidak bisa menjawab dengan baik. Maklum, kalau belum pernah duduk di depan kelasnya rasa-rasanya nggak akan tahu apa kompetensi yang dimilikinya. Gimanay ya, kecuali di depan kelasnya, orang nggak akan tahu ilmu apa yang dimilikinya. Nggak pernah dianya bikin tulisan yang membahas materi keilmuan yang dimilikinya. Mungkin pernah, hanya jelas nggak sembarang orang bisa membacanya, termasuk aku. Hanya sesumbarnya saja yang pernah aku dengar, yang intinya ingin menyatakan bahwa ilmunya sangat lengkap,sehingga alumni yang sekarang malang melintang di dunia kerja, dan sukses adalah karena ilmu yang diajarkannya, katanya. Benar atau tidak, aku nggak ngerti.

Masalah yang timbul sekarang, adalah bahwa materi tambahan yang diberikan itu dapat menyinggung dosen aslinya, yang jelas-jelas dari segi formal dan sebagainya adalah di atas dia. Itu bisa terjadi karena pimpinan yang ada seakan-akan memberi restu pada dosen yang bikin kasak-kusuk tersebut. Ini kayaknya kalau nggak dicegah bisa menjadi presenden buruk lho. Kalau diteruskan bahkan bisa ketahuan nantinya, siapa sebenarnya yang kurang berilmu. He, he kesempatan jeruk menguji jeruk. :)

Tunggu saja tanggal mainnya ya.

Kasus ketiga. Ini seru juga. Ini pada level praktisi. Aku mendapat kabar, lagi-lagi selalu lesan, yang menyatakan bahwa ada suatu struktur bangunan yang roboh. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut dinyatakan bahwa salah satu penyebab utama kegagalan bangunan itu adalah karena dirancang oleh orang-orang yang kurang berilmu. Jadi tepatnya begini, ada pernyataan bahwa bangunan itu roboh karena dirancang oleh insinyur yang kurang berilmu.

Pak, apakah yang ngomong seperti itu adalah insinyur ?

Bukan dik. Omongan seperti itu aku dengar dari orang yang bukan dalam kapasitas sebagai insinyur. Tapi kayaknya orang tersebut terkesan sekali dengan pendapat dari orang-orang yang bertugas meneliti bangunan roboh tersebut, yang menyatakan karena kurang berilmu itu tadi dik. Jadi dia mengulangi lagi pernyataan tersebut.

Terus terang, sampai detik inipun aku juga belum bisa memahami apa yang dimaksud dengan kurang berilmu tersebut.

Bingung juga, apa dasar yang menyebabkan para peneliti tersebut bisa membuat pernyataan “kurang berilmu” tersebut.

Kenapa aku keberatan menerima pernyataan tersebut. Begini dik, definisi berilmu, kurang berilmu dan tidak berilmu itu dari mana. Rasa-rasanya dalam setiap peraturan perencanaan yang dibuat, tidak ada pernyataan yang mengarah ke situ. Tidak ada suatu klausul yang mengarah bahwa yang merencanakan suatu struktur tertentu adalah harus level doktor atau profesor. Nggak ada itu.

Pak wir, berani nggak kalau jadi peneliti tersebut bikin pernyatan seperti itu.

Yah jelas nggak dong. Pernyataan seperti itu tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Itu suatu pernyataan politik. Retorika. Aku kuatir, yang menyatakan itu sebenarnya juga tidak tahu apa yang dimaksud. Seorang perencana dapat langsung dinyatakan salah, hanya jika terbukti membuat suatu perencanaan yang melanggar code atau peraturan-peraturan yang ada. Atau juga, ketika dilakukan hitungan ulang oleh insinyur lain yang dianggap lebih mumpuni dapat terbukti bahwa hitungan yang dibuatnya terdapat kesalahan prinsip, atau ada hal-hal yang lupa dipertimbangkan, atau kalaupun sudah dipertimbangkan tetapi tidak memadai berdasarkan peraturan yang ada.

Jadi nggak relevan menyatakan bahwa suatu struktur tidak memadai karena dihitung oleh orang yang kurang berilmu. Adapun yang dimaksud kurang berilmu dalam hal ini, misalnya adalah karena menghitung dengan analisa struktur hanya memakai cara manual, cara Cross, sedangkan yang lain yang dianggap berilmu karena memakai (menguasai) program SAP2000, buatan luar.

Jadi hati-hati, apa yang kelihatannya patut dicontoh, ternyata dalam kenyataannya diragukan juga. Wah bagaimana itu. Indonesia. :)

0 komentar:

Posting Komentar