Sample Text

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 13 Januari 2012

Daftar Lokasi dan Alokasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri 2012

Dalam rangka pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Tahun Anggaran 2012, bersama ini kami sampaikan Daftar Lokasi dan Alokasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri Tahun Anggaran 2012. Alokasi BLM PNPM Mandiri T.A 2012 untuk setiap daerah ditetapkan secara proporsional dengan tetap berpihak kepada masyarakat miskin (pro-poor).

Daftar Lokasi dan Alokasi BLM PNPM Mandiri Tahun 2012 ini menjadi acuan bagi seluruh pengelolaan program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Adapun Daftar Lokasi dan Alokasi BLM PNPM Mandiri Tahun 2012 adalah:
Buku Lengkap Daflok PNPM 2012

Sedangkan file untuk masing-masing bab dan masing-masing propinsi dapat diunduh terpisah pada daftar berikut :

4. Riau
11. Banten
17. Bali
30. Maluku
33. Papua

Memfasilitasi Keragaman

By admin
Keragaman itu seperti pisau bermata dua. Dia menjadi sumber kemajuan masyarakat, jika warganya mampu mengubah perbedaan-perbedaan menjadi kekuatan bersama yang produktif. Sebaliknya, dalam kasus yang ekstrim, dia jadi sumber kehancuran, khususnya, bila keragaman selalu berbuah konflik yang lestari.
Belajar dari pendekatan penanganan konflik antar-individu, seperti dikemukan Thomas dan Kilman (1986), ada dua dimensi mendasar yang perlu dicemarti, yakni assertiveness (kepedulian terhadap diri sendiri) dan cooperativeness (kepedulian terhadap orang lain). Dari dua dimensi ini muncul lima gaya, yakni 1) avoiding/ penghindaran (baik assertiveness maupun cooperativeness berada di tingkat rendah), 2) competing/ persaiangan (assertiveness tinggi, sementara cooperativeness rendah), 3) accommodating (assertiveness rendah, sementara cooperativeness tinggi), 4) collaborating (assertiveness mapun cooperativeness tinggi), dan 5) compromising (assertiveness dan cooperativeness pada tingkat sedang).
Dalam isu-isu yang sentral bagi masyarakat, avoiding, competing dan accommodating bukan pendekatan yang ideal. Avoiding tidak “menyelesaikan masalah”, malah, membiarkan potensi-potensi konflik terus hidup untuk menunggu waktu meledak. Sementara, competing yang terlalu tinggi berpotensi untuk menghasilkan perpecahan. Pada sisi lain, accommodating dapat menghasilkan dominasi dan akhirnya, relasi yang tidak lestari. Kelompok yang “manutan”, tanpa menunjukkan sikap, pendapat dan pendiriannya, cenderung rentan untuk didominasi/ dieksploitasi kelompok lain.
Untuk isu-isu penting, fasilitator perlu membantu proses collaborating atau compromising. Di keduanya keragaman dihargai karena setiap kelompok atau individu diberikan ruang untuk menunjukkan sikap dan pendapat. Jadi, ada ruang untuk menjadi assertive. Dalam kerangka kerja fasilitasi, ini yang disebut sebagai tahap divergensi.
Lebih lanjut, fasilitator memproses agar setiap sikap dan pendapat yang mengemuka dipelajari dan dicoba untuk dipahami bersama-sama. Jadi, sikap atau pendapat bukan sekedar dilontarkan lantas menguap begitu saja. Fasilitator mesti memproses tahap saling memahami (mutual understanding). Di sini dimensi cooperativeness (kepedulian terhadap orang lain) mulai disentuh.
Tahap selanjutnya adalah adalah konvergensi di mana sikap dan pendapat mulai dikerucutkan, dikombinasi, dilebur, dipilih atau bahkan menjadi inspirasi untuk memunculkan ide baru secara bersama. Kembali, di sini yang ditekankan adalah dimensi cooperativeness.
Kerja fasilitator pada dasarnya menyeimbangkan dimensi assertiveness dan cooperativeness sehingga menjadi kekuatan bersama. Dalam konteks Indonesia, rasanya dibutuhkan banyak fasilitator yang bisa memanfaatkan keragaman bangsa menjadi kekuatan untuk kemajuan bersama.  Risang Rimbatmaja

Artikel Terkait :

Guru Fasilitatif


By admin
Gagasan guru sebagai fasilitator bukanlah ide baru. Sebagai fasilitator, guru tidak diposisikan sebagai sumber pengetahuan tunggal yang serba tahu dan di lain  pihak, murid dianggap sebagai “gelas kosong” yang tidak tahu apa-apa dan juga, tidak bisa mencari tahu. Sebagai fasilitator, guru “mempermudah” murid untuk mencari dan “memproduksi” pengetahuannya sendiri.
Gagasan guru sebagai fasilitator rasanya tidak sulit dipahami. Yang kerap menjadi tantangan justru bagaiamana cara mengaplikasikannya.
Dalam sebuah diskusi dengan kelompok mahasiswa, Lapangan Kecil belajar tentang sejumlah karakteristik pengajar yang kurang disukai mahasiswa, diantaranya adalah, 1) pengajar dinilai tidak mengajarkan apa-apa dan hanya menyuruh mahasiswanya membaca dan mengerjakan tugas, 2) pengajar kerjanya hanya bertanya-tanya, bahkan ketika ditanya, dia justru balik bertanya.
Hmm….rasanya gagasan guru sebagai fasilitator bukan berarti lepas tanggung jawab atau bahkan bersikap instruktif (atapun bahkan otoriter dan koersif).
Dalam pengalaman Lapangan Kecil, yang sangat krusial adalah menerjemahkan posisi guru fasilitator menjadi keterampilan menjadi guru fasilitatif. Dalam konteks murid secara individual, guru fasilitatif mampu membangun hubungan yang kondusif dengan rasa saling percaya. Dia lihai bertanya bukan untuk menguji atau bahkan menghakimi, namun membantu murid berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. Dia mendengarkan dengan aktif bukan untuk mencari kesalahan murid, namun untuk belajar dari muridnya sendiri, menunjukkan perhatian, empati,dan sekaligus menunjukkan kekuatan yang dimiliki muridnya.
Dalam konteks kelompok murid, khususnya di satu kelas, guru fasilitatif terampil untuk menjadi seseorang yang terampil membuat murid saling kenal, saling berpendapat dan mendengarkan, bekerjasama secara positif. Kubu-kubu murid yang tadinya mengeras (biasanya di dalam kelas ada blok dan wilayah tempat: geng belajar, geng pembuat onar, geng borju dll), dicairkan oleh guru fasilitatif melalui percakapan yang demokratis dan juga kerja aktif murid-muridnya. Guru fasilitatif bisa mengelola dinamika yang rasional ataupun emosional menjadi keharmonisan, kesepakatan dan kerjasama. (Risang Rimbatmaja)

Artikel Terkait :

Aplikasi Pendekatan Berbasis Kekuatan di Isu Lingkungan

By admin
Dalam 10 tahun terakhir pendekatan berbasis kekuatan atau strength based approach banyak digunakan di Indonesia. AI (Appreciative Inquiry) atau PD (Positive Deviance) adalah contoh-contoh metode dengan pendekatan kekuatan. AI banyak digunakan untuk berbagai isu termasuk lingkungan dan bisnis. Sementara, PD kelihatannya lebih banyak digunakan kawan-kawan di sektor kesehatan.
Beberapa literatur menyebut praktik strength based sudah muncul beberapa dekade lalu. Bahkan, Healy (2005) melihat tahun 1940an sudah ada praktisinya, yakni Bertha Capen Reynolds yang saat itu mengritik penggunaan adopsi diskursus psikoanalisis yang tidak kritis. Dia melihat kebanyakan pekerja sosial terlalu melihat patalogi ketimbang kekuataan dan kapasitasnya. Intinya memang pendekatan kekuatan mengambil jalur yang berbeda dibanding penekatan deficit atau masalah (problem solving).
Belajar dari sejumlah pengalaman, beberapa fasilitator Lapangan Kecil yang tengah membantu Puskotling (Jakarta) mencoba menerapkan pendekatan berbasis kekuatan dalam isu lingkungan (penghijauan) di perkotaan, tepatnya di Pasar Manggis. Projeknya sendiri berfokus di 3 RW, yang terdekat dengan pasar dan memiliki kepadatan paling tinggi.
Setelah melakukan rembug di tingkat kelurahan, proses pencarian kekuatan dijalankan dengan mengajak kader-kader Posyandu berkeliling mencari sudut-sudut kampung yang dinilai bagus. Di antara kerapatan rumah-rumah dan sela-sela gang kecil yang bercabang-cabang ternyata tetap ditemui sudut-sudut yang hijau yang rindang dan rapih. Di sudut-sudut yang hijau dan indah itu kader dan fasilitator kemudian melakukan wawancara yang apresiatif dan kemudian berfoto ria. Sudut-sudut hijau nan indah itu pun difoto secara khusus. Foto-foto dan pengetahuan-pengetahuan yang didapat kemudian dibawa dalam rembug RW.
Rembug di RW 04 berlangsung malam hari di selasar kantor RW. Kantor RW 04 sendiri terletak di belakang pasar, di pinggir jalan. Walhasil, sesekali bajai dan motor melintas membuat sedikit noise. Ada sekitar 30 lebih partisipan yang hadir, kurang lebih meliputi Pak RT, pemuda, ibu-ibu Posyandu/ PKK dan aktivisi ormas.
Untungnya, tim lebih banyak menggunakan teknik kelompok kecil sehingga diskusi bisa berlangsung intensif per kelompok. Foto-foto diperlihatkan dan dibagi untuk kemudian didiskusikan: Di mana tepatnya ini? Apa enaknya atau tidak enaknya kondisi ini? Untuk mengantisipasi kurangnya dinamika, di setiap kelompok disisipkan juga 1 foto yang negatif (umumnya selokan yang penuh sampah).
Diskusi dalam kelompok terlihat berlangsung ramai. Awalnya seperti tebak-tebakan dan penuh guyonan, ini tempat siapa? Apa tempat Pak Parman? Bu Ani? Kaynya kok ga kaya begini ya?
Setelah diketahui lokasi foto, diskusi masuk ke tahap kedua tentang enak dan tidak enaknya kondisi di foto. Di sini mulai tampak serius.
Ketika ditanya, mana kondisi yang diinginkan, terpilih foto-foto positif yang menjadi acuan bersama.
Dan, tidak lama berselang, secara alamiah, muncullah pertanyaan/ tantangan dari warga dalam bentuk ungkapan: “Pak, action-nya bagaimana ini projek?”; “Bang, ini kita jangan diajak ngomong saja…”; “Kalau diskusi-diskusi kaya begini, sudah sering kita.”
Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Teknik dasar fasilitasi kemudian digunakan. Tim fasilitator pun berespon, “Kalau begitu, sekarang apa mesti dilkaukan agar ini bukan omdo (ngomong doang), diskusi doang. Supaya bisa jadi action nyata, apa yang mesti dilakukan?”
Kemudian muncul empat ide utama: pelatihan menanam, membuat kompos, bantuan tanaman, dan sosialisasi. Satu minggu kemudian, tepatnya tanggal 30 Oktober, pelatihan tanam menanam dan pembuatan kompos dilaksanakan. Dari 4 pelatih, 3 pelatih berasal dari RW itu sendiri. RW itu ternyata memiliki ahli tanam menanam dan ahli pembuatan kompos. Selain warga RW itu, perwakilan warga dari RW lain dan LMK pun ikut bergabung. Interaksi di pelatihan memunculkan ide/ komitmen/ motivasi baru, seperti RW itu sebagai pilot projek untuk pembuatan pupuk cair dan kompos yang akan diperluas ke RW-RW lain bila berhasil, dan membantu pelatihan RW-RW lain.
Apakah bisa dikatakan projek ini berhasil? Belum tahu. Perjalanan masih panjang. Yang jelas, ini masih tahap awal.

Artikel Terkait :
 

Bukan Sekedar Ngomong

By admin
Seorang fasilitator pernah berkeluh kesah pada kami, “Masyarakat sekarang susah. Kalau kita hanya ngomong doang, tanpa ada bantuan nyata, program tidak akan jalan,” ujarnya. Yang dimaksudnya dengan bantuan nyata di sini adalah material atau bahan dan peralatan untuk konstruksi. Jadi, kalau mau bangun jalan, dianggapnya fasilitator mesti membawa bahan seperti pasir, batu kerikil atau aspal.
Anggapan seperti itu mungkin saja betul atau mungkin salah. Tapi, yang jelas, “ngomong” bukan sesuatu yang tidak berarti. Dalam pandangan konstruktivis, “ngomong” sudah merupakan bagian dari aksi sosial (social action). Bahkan, tanpa “ngomong”, tidak mungkin ada aksi sosial.
Banyak peristiwa-peristiwa besar di Indonesia yang terjadi karena ngomong. Proklamasi berawal dari diskusi-diskusi kecil tokoh-tokoh pemuda Indonesia pada jaman itu. Peristiwa sumpah pemuda juga sebetulnya merupakan “omongan”.
Jadi, jangan pernah mengecilkan “ngomong-ngomong”.
Kalau masyarakat menganggap fasilitator itu ngomong doang, rasanya itu betul, karena yang ngomong hanya sang fasilitator masyarakat. Wacana didominasi oleh fasilitator dan dia mungkin tidak memberi ruang bagi masyarakat, kecuali ruang konfirmasi: Apakah ibu/ bapak setuju? Setuju? Ada yang keberatan?
Jadi betul, fasilitatornya ngomong doang tapi tidak memberi warga untuk ikut membangun omongan. Bila demkian yang terjadi, tak heran bila tidak terjadi aksi sosial. Yang terjadi ada aksi individual (fasilitatornya ngomong terus dan mendominasi), tapi tidak ada omongan bersama.
Yang jelas manusia itu bukan robot. Omongan bagi manusia bukanlah sekedar instruksi atau kepatuhan yang sifatnya represif, tapi justru wadah untuk ber-ekspresi dan menghadirkan diri sebagai warga. Bila ruang itu tidak dibentuk, maka sulit untuk memunculkan perasaan memiliki, tanggung jawab atau partisipasi.
Saat ini jaman sudah berubah. Warga Indonesia bukanlah robot, yang bisa direpresi seperti di era orde baru. Warga kita semakin otonom di mana keputusan ada di tangan mereka masing-masing. Risang Rimbatmaja

Artikel Terkait :
 

Pentingnya Fasilitator Proses dalam Program Pembangunan

By admin
Akhir-akhir ini ada lagi keluhan tentang peran fasilitator yang kami dapatkan. Dalam sebuah projek kesehatan yang cakupannya cukup luas, fasilitator masyarakat dilaporkan menggantikan tugas tenaga kesehatan di Puskesmas. Karena lingkup kerjanya spesifik, kinerja fasilitator terlihat menjanjikan dibanding tenaga kesehatan yang terbebani dengan bejibun pekerjaan.

Diskusi tentang peran fasilitator dalam sebuah projek telah berlangsung lama. Apakah fasilitator hanya proses atau membawa kapasitas teknis?

Kasus di pembukaan tulisan ini adalah contoh di mana fasilitator menekankan fungsi teknis. Meski melalui training yang cepat, mereka diharapkan memiliki kemampuan teknis mirip dengan tenaga kesehatan yang ada (khususnya, terkait dengan isu yang disasar projek).

Akibatnya, mereka bisa menggantikan peran tenaga kesehatan. Input berganda (dari fasilitator dan tenaga kesehatan, jika aktif) bisa menjadi kontribusi yang efektif. Kalau pun tidak berganda, alias dari fasilitator saja, maka itu pun bisa tetap efektif (karena ada orang di masyarakat yang fokus terhadap suatu isu).

Masalah umum yang biasa ditemui adalah isu keberlanjutan. Keadaan berubah ketika projek berlangsung. Sehabis kontrak fasilitator beres, kondisi kembali ke keadaan semula. Ini tak lain karena fasilitator yang menangani persoalan telah pergi dari masyarakat. Hilang orangnya, hilang pula kapasitas di masyarakat.

Kami pribadi memilih menempatkan fasilitator sesuai kaidah resminya, yakni sebagai orang netral yang mempermudah proses berkelompok, dalam hal ini adalah proses berinteraksi, berkomunikasi, berdialog dan bersepakat. Di sini, jelas peran fasilitator bukan hanya omong-omong saja (ini yang kerap dituduhkan pada fasilitator proses). Di sini fasilitator sangat berperan dalam proses diskursus (discourse process), di mana diskursus merupakan bagian dari aksi sosial itu sendiri. Seperti dalam pandangan constructionist, diskursus itu a “doing with” in the world (Gregen & Gregen, 2003).

Kami pernah berbincang dengan seorang senior dalam program pembangunan, dia menceritakan bahwa fasilitator proses tidak bisa menyelesaikan masalah, karena tanpa kapasitas teknis, dia menjadi tidak berguna ketika masyarakat sendiri tidak bisa memecahkan masalah.

Kami rasa di sini mungkin letak masalahnya. Menurut kami, fasilitator mestilah membantu proses sehingga masyarakat  bisa memecahkan masalahnya sendiri. Kalau tidak ada kemampuan teknis atau sumber daya yang memadai di masyarakat, maka peran fasilitator untuk membantu proses untuk tujuan pencarian dan rekrutmen sumber daya dari luar masyarakat. Dengan demikian, rekrutmen sumber daya dari luar akan menjadi kapasitas masyarakat pula dan tidak didominasi oleh LSM, ormas, agen-agen pemerintahan dan lainnya.

Dengan peran yang tetap berfokus pada proses, program juga akan memiliki karakteristik yang ideal. Program tidak serta merta mengasumsikan perlunya sumber daya eksternal (seperti terlihat dalam program-program nasional di mana masyarakat beradu proposal untuk dana blok). Program pun memungkinkan pencarian sumber daya eksternal, alias tidak mengharamkan kehadiran sumber daya eksternal. (Risang Rimbatmaja)

Artikel Terkait :

Fasilitator atau trainer atau…?


foto-artikel-2Dalam sejumlah projek pembangunan, pengertian fasilitasi mengarah pada ”mempermudah” dengan cara memberi bantuan teknis (keterampilan, informasi, dll) pada masyarakat. Karena itu, kita mengenal fasilitator dengan keterampilan teknis yang spesifik seperti fasilitator air dan sanitasi, fasilitator kesehatan masyarakat, mikro kredit, gizi masyarakat, dan lain-lain. Di sini, fasilitasi merujuk pada pengelolaan partisipasi masyarakat sekaligus pemberian keterampilan, informasi, atau pilihan-pilihan metode atau teknologi untuk diadopsi masyarakat.


foto-artikel-1
Dalam praktiknya, kata ”mempermudah” memiliki arti berbeda bagi orang berbeda. Dalam dunia birokrasi, memfasilitasi kerap dimaklumi sebagai pemberian fasilitas, entah dalam bentuk dana, sarana, alat dll. Sehingga memfasilitasi adalah memberi sesuatu yang mempermudah penyelesaian suatu pekerjaan.

Belakangan ini istilah fasilitator kerap disebut-sebut dalam berbagai projek pembangunan. Ia menjadi kian populer, bahkan mungkin lebih populer ketimbang sejumlah tenaga lapangan yang muncul sebelumnya, seperti penyuluh, pendamping, community trainer, ataupun community organizer. Istilah bisa berbeda, tapi pada praktiknya, apakah perannya betul-betul berbeda? Bagaimana cara mudah untuk melihat apakah suatu proses adalah fasilitasi atau bukan?
Pengertian
Fasilitasi berasal dari kata Perancis, facile dan Latin facilis, yang artinya mempermudah (to facilitate = to make easy). Jadi, secara superfisial fasilitator bisa diartikan sebagai orang yang mempermudah.
Perspektif global tentang fasilitator tampaknya berbeda dengan pengertian-pengertian di atas. Prinsip utama fasilitasi adalah proses, bukan isi. Seperti dijelaskan Hunter et al, (1993), facilitation is about process – how you do something – rather than the content – what you do. Facilitator is process guide; someone who makes a process easier or more convenient to use.
Dalam buku wajib profesi fasilitator yang diterbitkan IAF (International Association of Facilitators), The IAF Handbook of Group Facilitation: Best Practice from the Leading Organization in Facilitation (2005), Schwarz menekankan bahwa tugas utama fasilitator adalah membantu kelompok untuk meningkatkan efektivitas dengan cara memperbaiki proses dan struktur. Proses mengacu pada bagaimana kelompok bekerja, semisal bagaimana mereka bicara satu sama lain (berkomunikasi), bagaimana membuat keputusan ataupun mengelola konflik. Sementara, struktur mengacu pada proses yang stabil dan berulang seperti pembagian peran dalam kelompok.
Singkatnya, fasilitator adalah orang yang membantu anggota kelompok berinteraksi secara nyaman, konstruktif, dan kolaboratif sehingga kelompok dapat mencapai tujuannya. Untuk itu semua, seperti ditekankan Kaner (Facilitator’s Guide to Participatory Decision Making, 2007), fasilitator mesti netral dalam isi (content-neutral). Artinya, isi pembicaran kelompok, seperti bagaimana keadaan suatu masyarakat atau apa solusi yang tepat untuk suatu masalah, adalah urusan kelompok, dan bukan wilayah intervensi fasilitator.
Paradigma dan keterampilan
Berposisi netral terhadap isi dan hanya menggarap proses bukannya tanpa alasan. Bila fasilitator tidak netral atau memihak pada satu pendapat/ pilihan ataupun masuk terlibat dalam isi pembicaraan dengan memberi penilaian ataupun opini, maka proses kelompok dikhawatirkan terganggu. Akibatnya, hasil kelompok tidak dipercaya sebagai hasil kerja kelompok. Bila sudah demikian, maka lupakanlah project ownership ataupun sustainability.
Agar berfokus pada proses dan berposisi netral, fasilitator mestilah memiliki paradigma sekaligus teknik-teknik yang mendukung. Secara paradigmatik, seorang fasilitator mesti berkeyakinan bahwa semua anggota kelompok ataupun partisipan pertemuan memiliki kemampuan dan dapat mencari jalan keluar secara bersama-sama. Adalah hak dan tanggung jawab mereka untuk memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan. Dalam fasilitasi, warga atau anggota kelompok adalah subjek dalam pengertian sesungguhnya.
proses-content
Fasilitator yang tergabung dalam FNS (Facilitators Network Singapore) menggambarkan posisi proses dan isi (content) dalam diagram kontinual. Pelatihan (training) bobotnya lebih pada isi (what?), sementara fasilitasi di proses (how?). Dalam praktiknya, tidak tertutup kemungkinan yang terjadi adalah di tengah, yakni pelatihan yang menggunakan teknik-teknik fasilitasi.
Dari sisi teknis, keterampilan utama fasilitator adalah bertanya (yang didapat dari hasil mendengarkan). Sedemikian pentingnya, banyak fasilitator profesional yang menyimpulkan bahwa fasilitasi adalah fungsi dari bertanya.
Dengan bertanya, fasilitator memposisikan dirinya netral untuk kemudian membuka dan mengundang partisipasi, yang kemudian dikelola dalam dialog lalu mengerucutkan pada suatu kesepakatan bersama. Secara singkat, ada tiga pembabakan penting, yakni divergensi (memfasilitasi munculnya keragaman ide), dialog (mempertemukan dan mendialogkan ide-ide), dan kemudian konvergensi (mengerucutkan ide-ide).
Cara mudah mengindikasi
Lantas, bagaimana cara mudah melihat apakah suatu pertemuan warga cenderung merupakan bentuk fasilitasi (fokus pada proses dan netral) ataukah penyuluhan, pelatihan atau pendampingan?
Cara-cara mudah memang belum tentu akurat dan sifatnya simptomik saja. Namun, sebagai indikasi awal mungkin dapat dimanfaatkan.
1 ½ menit bicara sudah terlampau banyak
Proses fasilitasi adalah proses percakapan dan diskusi warga/ anggota kelompok. Karenanya, fasilitator bicara jauh lebih sedikit. Kecuali di bagian-bagian pengantar yang mungkin sedikit agak panjang, fasilitator bicara tidak lebih dari 1 ½ menit. Fasilitator lebih banyak bertanya dan bertanya hanya memakan waktu sekitar 10 detik. Bila dijumpai fasilitator yang bicara panjang lebar, bahkan lebih panjang dari warga, maka patut diduga bahwa yang terjadi bukanlah fasilitasi.
Aktivitas diskusi berpusat pada warga/ anggota
Banyak foto di artikel-artikel atau laporan-laporan kegiatan fasilitasi menggambarkan fasilitator tengah beraksi. Ada yang menggambarkan fasilitator bicara, sementara anggota kelompok memperhatikan. Ada pula foto yang memperlihatkan seorang warga/ anggota kelompok berbicara pada fasilitator. Foto memang hanya penggalan sesaat proses yang panjang, namun bila foto-foto itu merepresentasikan keseluruhan proses, maka yang terjadi mungkin bukan fasilitasi.
Dalam proses fasilitasi, diskusi atau interaksi terbanyak terjadi antar-anggota. Di tahap divergensi, fasilitator memang mengambil posisi sentral untuk mengumpulkan ide atau pendapat. Namun, divergensi, semisal dengan brainstorming, sebetulnya merupakan tahapan yang paling singkat. Bahkan, dalam divergensi dengan teknik brainwriting sosok fasilitator akan menghilang. Karenanya, yang mestinya dominan adalah interaksi antar-anggota ketimbang anggota kelompok/ warga dengan fasilitator.
Pengaturan tempat duduk
Ruh fasilitasi mesti juga diterjemahkan dalam setting tempat duduk. Dalam fasilitasi, pengaturan mesti merefleksikan persamaan kedudukan antar-anggota dan juga ruang interaksi antar-anggota kelompok. Jadi, fokusnya bukan hanya pengaturan yang membuat fasilitator dapat dengan mudah melihat semua anggota kelompok, namun juga anggota mesti dapat dengan mudah saling melihat. Bila tempat duduk diatur dengan setting kelas sekolah yang konvensional (berbaris/ kotak), agak sulit mengharapkan proses fasilitasi terjadi.
Kami melakukannya sendiri!
Ketika berkunjung ke berbagai komunitas untuk belajar projek ini itu, mungkin kerap didengar dari warga bahwa perbaikan di masyarakat terjadi karena adanya kehadiran organisasi ini itu. Bila yang didengar hanyalah ”Ini terjadi karena ada organisasi ini itu”, maka prosesnya boleh dipertanyakan.
Fasilitasi berfokus pada anggota kelompok/ warga. Sehingga, bila mencapai sesuatu, mereka mestinya merasa “Yes, we did it!”; “Ya, kami berhasil melakukannya!” Bila pun ada orang atau organisasi luar yang hadir, warga mestinya dapat mengidentifikasi peran fasilitasi mereka. Secara ekstrim warga bisa saja berkata: “Pencapaian ini adalah hasil rembuk dan kerja warga di sini. Memang, ada kawan dari organisasi X yang datang membantu kami berembuk. Tapi, dia lebih bertanya-tanya dan kadang, mencatat-catat. Ide dan keputusan berasal dari kami murni!”
Kembali perlu ditekankan bahwa empat hal di atas adalah cara mudah untuk mengindikasi atau menduga apakah yang terjadi adalah proses fasilitasi. Seperti kebanyakan “cara mudah”, banyak kelemahan yang menempel. Lebih baik, tentu saja, kita belajar dari dekat atau bahkan terlibat langsung, dan berusaha melihatnya dari berbagai kacamata. (Risang Rimbatmaja)